Sebelum mempelajari lebih jauh tentang perang yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura, sebaiknya Anda perlu mengenal lebih dulu biografi singkat dari beliau.
Pattimura |
Nama asli : Thomas Matulessy
Nama Ayah : Antoni Matulessy
Nama Ibu : Fransina Tilahoi
Tempat lahir : Saparua, Maluku Tengah
Tanggal lahir : 8 Juni 1783
Tanggal gugur : 16 Desember 1817
Karir : Sebagai Sersan Mayor di Angkatan Darat Kerajaan
Perjuangan : Perang Pattimura
Penghargaan : Sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973
Pattimura tumbuh ketika Kepulauan Maluku mengalami masa peralihan penguasaan dari Belanda ke Inggris sejak tahun 1798. Kala Inggris mulai berkuasa, Thomas Matulessy alias Pattimura muda masuk dinas militer (Korps Ambon) bentukan negeri Britania Raya itu hingga mencapai pangkat sersan (Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional, Volume 1-2, 1983:53).
Tanggal 13 Agustus 1814, Inggris dan Belanda menyepakati Traktat London (Rusdiat & Sulaiman T.S., Api nan tak Kunjung Padam, 1983:3). Salah satu poin penting yang menjadi hasilnya adalah bahwa Inggris harus mengembalikan wilayah di Nusantara yang semula merupakan hak milik Belanda, termasuk Kepulauan Maluku.
Kembali berada di bawah cengkeraman Belanda menimbulkan petaka bagi rakyat Maluku. Belanda memberlakukan kebijakan yang sangat merugikan rakyat, termasuk monopoli perdagangan rempah-rempah, menetapkan pajak tanah (landrente) yang tinggi, memindahkan penduduk untuk dijadikan pekerja paksa, hingga persoalan pelayaran Hongi (hongitochten).
Situasi ini tak pelak membuat rakyat Maluku semakin sengsara dan miskin. Tak hanya berbagai kebijakan yang mencekik, sikap para petinggi Belanda juga amat tak terpuji. Menurut M. Sapija, mereka bertindak kasar dan culas terhadap rakyat.
Belanda juga melanggar Pasal 11 dalam Traktat London yang memuat ketentuan bahwa seiring berakhirnya masa pemerintahan Inggris di Maluku, maka Korps Ambon seharusnya dibubarkan dan para anggotanya dibebaskan, apakah akan masuk dinas militer bentukan Belanda atau keluar.
Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah Belanda memaksakan kehendaknya dengan tetap mempekerjakan para tentara eks Korps Ambon (J.B. Soedarmanta, Jejak-jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, 2007:199P). Inilah yang membuat Pattimura memutuskan untuk melawan, juga karena sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan rakyat Maluku.
Keinginan Pattimura mendapat sambutan dan dukungan penuh dari segenap rakyat serta raja-raja juga tokoh-tokoh adat. Pada 14 Mei 1817, Pattimura diangkat sebagai pemimpin dan panglima perang (kapitan) untuk memimpin perlawanan terhadap Belanda (Arya Ajisaka & Dewi Damayanti, Mengenal Pahlawan Indonesia, 2010:9)
Segera setelah diresmikan sebagai pemimpin rakyat Maluku, Kapitan Pattimura segera menyusun siasat untuk menyerang pos-pos Belanda. Dalam perjuangan ini, Pattimura didukung tokoh-tokoh pejuang Maluku lainnya, termasuk Anthony Reebook, Philip Latumahina, Melchior Kesaulya, Said Parintah, juga Paulus Tiahahu beserta putrinya, Christina Martha Tiahahu.
Operasi penyerangan pun dimulai. Tanggal 16 Mei 1817, catat M. Sapija, pasukan Pattimura berhasil merebut Benteng Duurstede dan menewaskan Residen Johannes Rudolph van den Berg beserta 19 orang prajurit Belanda (hlm. 69).
Perang Pattimura |
Pattimura sekuat tenaga mempertahankan benteng dari serbuan Belanda yang bergantian datang. Dalam Pattimura-Pattimura Muda Bangkit Memenuhi Tuntutan Sejarah karya David Matulessy (1979) dikisahkan, pasukan Belanda yang berkekuatan 200 tentara menyerbu pada 20 Mei 1817, namun luluh-lantak dan hanya tersisa 30 orang saja yang selamat (hlm. 70).
Rentetan perang juga terjadi di titik-titik krusial lainnya, baik di darat maupun di laut. Kemenangan demi kemenangan pun diraih pasukan Pattimura, termasuk dalam pertempuran di Waisisil, Hatawano, Hitu, hingga Seram Selatan.
Belanda yang semakin terdesak lantas berpikir keras demi menemukan cara untuk menghentikan sepak-terjang Pattimura yang kian menakutkan. Akhirnya, devide et impera alias politik pecah-belah pun diterapkan. Belanda, tulis M. Sapija, berhasil memengaruhi tokoh-tokoh rakyat yang dirasa tidak suka kepada Pattimura, termasuk Pati Akoon dan Dominggus Thomas Tuwanakotta (hlm. 124).
Hasilnya mujarab. Berkat informasi dari Pati Akoon dan Dominggus Thomas Tuwanakotta, strategi pasukan Pattimura diketahui Belanda. Perlawanan rakyat Maluku di beberapa tempat dapat dipatahkan, bahkan Benteng Duurstede mampu kembali direbut Belanda.
Atas informasi dari orang dalam itu pula, Belanda akhirnya bisa menangkap Pattimura yang saat itu sedang berada di Siri Sori, Maluku Tengah, pada 11 November 1817. Menurut Soedarmanta, Pattimura ditangkap bersama beberapa orang kepercayaannya (hlm. 201).
Belanda menawarkan kerjasama kepada Pattimura, namun selalu ditolak mentah-mentah. Tak ada pilihan lain, Belanda pun menjatuhkan hukuman mati. Akhirnya, pada 16 Desember 1817, Pattimura bersama Anthony Reebook, Philip Latumahina, dan Said Parintah dihukum gantung di depan Benteng Nieuw Victoria, Kota Ambon.
Kapitan Pattimura gugur di tiang gantungan pada usia yang masih muda, 34 tahun. Pada 6 November 1973, pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar