Senin, 09 November 2020

Perang Pattimura


            Sebelum mempelajari lebih jauh tentang perang yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura, sebaiknya Anda perlu mengenal lebih dulu biografi singkat dari beliau.

Pattimura
Pattimura

Nama asli : Thomas Matulessy

Nama Ayah : Antoni Matulessy

Nama Ibu : Fransina Tilahoi

Tempat lahir : Saparua, Maluku Tengah

Tanggal lahir : 8 Juni 1783

Tanggal gugur : 16 Desember 1817

Karir : Sebagai Sersan Mayor di Angkatan Darat Kerajaan

Perjuangan : Perang Pattimura

Penghargaan : Sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973


            Pattimura tumbuh ketika Kepulauan Maluku mengalami masa peralihan penguasaan dari Belanda ke Inggris sejak tahun 1798. Kala Inggris mulai berkuasa, Thomas Matulessy alias Pattimura muda masuk dinas militer (Korps Ambon) bentukan negeri Britania Raya itu hingga mencapai pangkat sersan (Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional, Volume 1-2, 1983:53).

Tanggal 13 Agustus 1814, Inggris dan Belanda menyepakati Traktat London (Rusdiat & Sulaiman T.S., Api nan tak Kunjung Padam, 1983:3). Salah satu poin penting yang menjadi hasilnya adalah bahwa Inggris harus mengembalikan wilayah di Nusantara yang semula merupakan hak milik Belanda, termasuk Kepulauan Maluku.

Kembali berada di bawah cengkeraman Belanda menimbulkan petaka bagi rakyat Maluku. Belanda memberlakukan kebijakan yang sangat merugikan rakyat, termasuk monopoli perdagangan rempah-rempah, menetapkan pajak tanah (landrente) yang tinggi, memindahkan penduduk untuk dijadikan pekerja paksa, hingga persoalan pelayaran Hongi (hongitochten).


Situasi ini tak pelak membuat rakyat Maluku semakin sengsara dan miskin. Tak hanya berbagai kebijakan yang mencekik, sikap para petinggi Belanda juga amat tak terpuji. Menurut M. Sapija, mereka bertindak kasar dan culas terhadap rakyat.

        Belanda juga melanggar Pasal 11 dalam Traktat London yang memuat ketentuan bahwa seiring berakhirnya masa pemerintahan Inggris di Maluku, maka Korps Ambon seharusnya dibubarkan dan para anggotanya dibebaskan, apakah akan masuk dinas militer bentukan Belanda atau keluar.

Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah Belanda memaksakan kehendaknya dengan tetap mempekerjakan para tentara eks Korps Ambon (J.B. Soedarmanta, Jejak-jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, 2007:199P). Inilah yang membuat Pattimura memutuskan untuk melawan, juga karena sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan rakyat Maluku.

Keinginan Pattimura mendapat sambutan dan dukungan penuh dari segenap rakyat serta raja-raja juga tokoh-tokoh adat. Pada 14 Mei 1817, Pattimura diangkat sebagai pemimpin dan panglima perang (kapitan) untuk memimpin perlawanan terhadap Belanda (Arya Ajisaka & Dewi Damayanti, Mengenal Pahlawan Indonesia, 2010:9)

Segera setelah diresmikan sebagai pemimpin rakyat Maluku, Kapitan Pattimura segera menyusun siasat untuk menyerang pos-pos Belanda. Dalam perjuangan ini, Pattimura didukung tokoh-tokoh pejuang Maluku lainnya, termasuk Anthony Reebook, Philip Latumahina, Melchior Kesaulya, Said Parintah, juga Paulus Tiahahu beserta putrinya, Christina Martha Tiahahu.

Operasi penyerangan pun dimulai. Tanggal 16 Mei 1817, catat M. Sapija, pasukan Pattimura berhasil merebut Benteng Duurstede dan menewaskan Residen Johannes Rudolph van den Berg beserta 19 orang prajurit Belanda (hlm. 69).

Pattimura
Perang Pattimura

    Pattimura sekuat tenaga mempertahankan benteng dari serbuan Belanda yang bergantian datang. Dalam Pattimura-Pattimura Muda Bangkit Memenuhi Tuntutan Sejarah karya David Matulessy (1979) dikisahkan, pasukan Belanda yang berkekuatan 200 tentara menyerbu pada 20 Mei 1817, namun luluh-lantak dan hanya tersisa 30 orang saja yang selamat (hlm. 70).

Rentetan perang juga terjadi di titik-titik krusial lainnya, baik di darat maupun di laut. Kemenangan demi kemenangan pun diraih pasukan Pattimura, termasuk dalam pertempuran di Waisisil, Hatawano, Hitu, hingga Seram Selatan.

Belanda yang semakin terdesak lantas berpikir keras demi menemukan cara untuk menghentikan sepak-terjang Pattimura yang kian menakutkan. Akhirnya, devide et impera alias politik pecah-belah pun diterapkan. Belanda, tulis M. Sapija, berhasil memengaruhi tokoh-tokoh rakyat yang dirasa tidak suka kepada Pattimura, termasuk Pati Akoon dan Dominggus Thomas Tuwanakotta (hlm. 124).

Hasilnya mujarab. Berkat informasi dari Pati Akoon dan Dominggus Thomas Tuwanakotta, strategi pasukan Pattimura diketahui Belanda. Perlawanan rakyat Maluku di beberapa tempat dapat dipatahkan, bahkan Benteng Duurstede mampu kembali direbut Belanda.

Atas informasi dari orang dalam itu pula, Belanda akhirnya bisa menangkap Pattimura yang saat itu sedang berada di Siri Sori, Maluku Tengah, pada 11 November 1817. Menurut Soedarmanta, Pattimura ditangkap bersama beberapa orang kepercayaannya (hlm. 201).


Belanda menawarkan kerjasama kepada Pattimura, namun selalu ditolak mentah-mentah. Tak ada pilihan lain, Belanda pun menjatuhkan hukuman mati. Akhirnya, pada 16 Desember 1817, Pattimura bersama Anthony Reebook, Philip Latumahina, dan Said Parintah dihukum gantung di depan Benteng Nieuw Victoria, Kota Ambon.

Kapitan Pattimura gugur di tiang gantungan pada usia yang masih muda, 34 tahun. Pada 6 November 1973, pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber Artikel 1

Sumber Artikel 2


Cara upload video dari youtube

 Cara upload video dari youtube



Selasa, 03 November 2020

SUMPAH PEMUDA

                         SUMPAH PEMUDA


28 Oktober 2020


"Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia."

"Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia."

"Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia..

sejarah
    Tanggal 28 Oktober 2019 diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda yang ke-91. Ada makna yang mendalam bagi sejarah bangsa ini dalam isi Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928 itu, yakni ikrar bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu: Indonesia. Sumpah Pemuda tercetus dalam Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Namun dua tahun sebelumnya, seperti diungkap Sudiyo lewat buku Perhimpunan Indonesia sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda (1989), telah dilakukan Kongres Pemuda I mulai tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926 di Batavia (Jakarta). Kongres Pemuda I atau Kerapatan Besar Pemuda dihadiri oleh perwakilan dari perhimpunan pemuda/pemudi termasuk Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Theosofi, dan masih banyak lagi. Tujuan Kongres Pemuda I, seperti dikutip dari buku Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda (1996) karya Mardanas Safwan, antara lain mencari jalan membina perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu dengan membentuk sebuah badan sentral dengan maksud: Pertama, untuk memajukan persatuan dan kebangsaan Indonesia, serta yang kedua adalah demi menguatkan hubungan antara sesama perkumpulan pemuda kebangsaan di tanah air. Namun, Kongres Pemuda I diakhiri tanpa hasil yang memuaskan bagi semua pihak lantaran masih adanya perbedaan pandangan. Setelah itu, digelar lagi beberapa pertemuan demi menemukan kesatuan pemikiran. Maka, disepakati bahwa Kongres Pemuda II akan segera dilaksanakan.


  

        Peserta dari Barat & Timur Indonesia Kongres Pemuda II di Batavia dihadiri oleh para perwakilan organisasi pemuda dari Indonesia bagian barat sampai bagian timur dari berbagai latar belakang. Ada Mohammad Yamin, misalnya, yang datang dari ranah Minangkabau atau Sumatera Barat. Dari belahan timur Indonesia ada Johannes Leimena, kelahiran Ambon, Maluku. Ada pula Raden Katjasungkana dari Madura, atau Cornelis Lefrand Senduk mewakili organisasi pemuda Sulawesi. Bisa dibayangkan, dengan akses transportasi yang belum secanggih dan semudah sekarang, para pemuda dan pemudi itu harus menempuh perjalanan jauh dari daerah asal mereka ke Batavia demi mewujudkan persatuan generasi muda Indonesia. Lagu 'Indonesia Raya' Pertama Kali Dinyanyikan Dalam Kongres Pemuda II di Batavia pada 28 Oktober 1928, untuk pertama kalinya lagu "Indonesia Raya" diperdengarkan ke khalayak. Wage Rudolf Soepratman memainkan lagu ciptaannya itu di depan peserta kongres dengan gesekan biolanya yang mendayu-dayu. Setelah selesai memainkan "Indonesia Raya" -yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia- para hadirin meminta agar lagu tersebut dinyanyikan. Setelah melalui diskusi, akhirnya "Indonesia Raya" dinyanyikan dengan sedikit perubahan lirik demi keamanan karena kongres diawasi oleh aparat kolonial Hindia Belanda. Kata “merdeka” dalam lirik lagu itu dihilangkan dan diganti dengan kata “mulia. Adapun orang yang pertama kali melantunkan lagu "Indonesia Raya" dalam Kongres Pemuda II itu adalah Dolly Salim yang tidak lain merupakan putri kesayangan Haji Agus Salim.


Sumpah Pemuda